Senin, 09 Januari 2012

Jiwa-2

Anak-anak yang Gersang Jiwanya
oleh: M. Fauzil Adhim

Suatu malam, sebuah SMS masuk ke handphone saya. Isinya cukup singkat, tetapi membuat saya sebagai orangtua tersentak, lalu tercenung sesaat. Meski saya sudah memberi jawaban, tetapi SMS itu masih membuat saya berpikir. Saya mencoba merenung agak dalam sembari membiarkan SMS itu tetap tersimpan.

Saya mencoba berpikir. Sesungguhnya, apa yang terjadi di keluarganya sehingga ia berkirim SMS dengan ungkapan, "Ustadz, saya kesepian sekali. Orangtua sama sekali tidak peduli. Padahal serumah. Kakak-kakak dan adik pun demikian. Saya ingin meninggal saja, Ustadz."

Kegetiran, kesepian, dan merasa tak ada lagi artinya hidup lebih lama meski hidup serumah dengan orangtua, akhir-akhir ini agaknya mulai merebak. Anak-anak merasa rumah hanyalah tempat untuk membaringkan letih dan penat. Itu pun dengan perasaan yang tak nyaman, sehingga sebagian di antara mereka bahkan untuk sekadar tidur di rumah pun sangat tidak betah. Mereka merasa tidak memiliki orang tua. Yang mereka miliki hanyalah instruktur yang akan memberi perintah kepada mereka tentang les apa yang harus mereka ambil, menyediakan uang untuk biaya mereka, dan memeriksa hasil belajar mereka. Selebihnya, tak ada waktu untuk berbincang bersama, tak ada tempat untuk bercanda bersama.

Anak-anak yang getir jiwanya itu, dapat memperoleh apa saja, kecuali ketulusan kasih sayang dan kerelaan untuk mendengar dari orangtuanya. Anak-anak itu dapat memuaskan keinginannya untuk membeli apa saja, kecuali yang tidak bisa dibeli dengan uang. Mereka memperoleh selimut-selimut yang tebal untuk tidur, tetapi tanpa kehangatan jiwan dari pelukan tulus seorang ibu. Mereka merasakan sejuknya ruang-ruang ber-AC, tetapi tidak menemukan kata-kata menyejukkan dari orangtua. Mereka merasa gerah dengan kehidupan di rumah, justru ketika orangtua ada bersama mereka.

Astaghfirullahal 'azhim.

Banyak orangtua merasa telah bersungguh-sungguh berjuang untuk anaknya. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah memaksa mereka menjadi seperti keinginan orangtua. Kita paksa anak-anak kita untuk  meniru kita, dengan bekal seperti bekal kita, padahal ia diciptakan bukan menghadapi zaman ini. Ia diciptakan untuk menghadapi zaman lain yang berbeda. Kata Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu, "Jangan paksakan anakmu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman kamu."

Nasihat Ali bin Abi Thalib ini mengingatkan kita untuk lebih memperhatikan hal-hal yang mendasar bagi jiwa anak; bagi akidah anak. Bukan sibuk dengan keterampilan apa yang harus ia miliki, kehebatan apa yang harus ia raih, dan pekerjaan apa yang mesti ia impikan. Tidaklah disebut gagal jika bapaknya seorang yang sangat cemerlang kariernya di bidang teknologi, sementara anak-anaknya lebih menyukai ilmu sosial, sepanjang anak-anak itu mengerti tujuan hidupnya dan memiliki komitmen yang kuat pada agama. Kegagalan adalah ketika mereka dapat melebihi kehebatan orangtuanya, tetapi jiwa mereka gersang dan hati mereka rapuh, sementara iman hampir-hampir tidak dapat ditemukan bekasnya.

Hari-hari ini, ketika kita lebih banyak mengasah kedahsyatan otak mereka tetapi lupa menghidupkan hatinya, marilah kita merenung sejenak tentang anak-anak yang kehilangan arah. Tengoklah sejenak anak-anak yang menghabiskan waktunya untuk berkelahi di jalanan, atau tenggelam di tengah hiruk-pikuknya kehidupan yang memuja syahwat. Tengok pula anak-anak yang matanya cekung bukan karena kurang gizi, dan badannya kurus karena kurang makan, melainkan karena tersedot oleh obat-obat terlarang. Cobalah sejenak untuk menjawab dengan jujur, siapakah mereka? Maka kita akan tahu sebuah kenyataan yang amat getir. Kenyataan bahwa banyak di antara mereka adalah anak-anak kaum muslimin yang terdidik.

Dari berbagai penelitian, kita bisa belajar bahwa kecerdasan otak dan kekuatan bakat tak cukup kuat untuk mengokohkan jiwa anak dan menghidupkan hati mereka. Anak-anak yang sangat cerdas, terbiasa dijejali pengetahuan tanpa dibangun empati dan komitmen hidup yang kokoh, justru lebih mudah mengalami stres. Anak-anak yang memiliki otak cemerlang tetapi kurang tertata tujuan hidupnya, tidak terbiasa menghadapi tantangan, kurang memperoleh kasih sayang, serta tidak terbina keyakinannya (akidah, religious belief), justru sangat rentan frustasi. Mereka rawan terkena depresi dan keputusasaan. Mereka kurang mampu menghadapi tantangan sosial yang ada di sekelilingnya.

Perubahan-perubahan yang cepat juga turut berperan untuk menimbulkan keguncangan pada anak-anak kita. Perubahan itu bisa bersumber pada diri mereka sendiri, bisa bersumber dari lingkungan sekeliling. Perubahan pada diri anak bersebab pada perkembangannya, misalnya memasuki masa 'aqil-baligh. Mereka bisa mengalami keguncangan (storm ang stress)--begitu teori-teori lama mengatakan. Mereka bisa kebingungan, sibuk mencari identitas diri, lalu terombang-ambing dan mudah terpengaruh. Tetapi, berkaca pada sejarah, masa-masa ini bisa menjadi masa bangkitnya kecemerlangan seseorang. Mereka mencapai kehebatannya yang menakjubkan pada usia-usia remaja. Imam Syafi'i sudah memiliki otoritas mengeluarkan fatwa ketika usianya baru 16 tahun. Sementara Usamah bin Zaid ditunjuk oleh Nabi Saw. sebagai panglima perang, juga ketika usianya baru menginjak belasan tahun. Mereka mencapai kehebatan yang menakjubkan bukan karena pendidikan yang diterima secara terus-menerus mengasah otaknya dan menajamkan argumentasinya. Mereka mencapai kehebatan justru karena kuatnya "ruh" dalam diri mereka; sebuah penggerak sangat kuat yang berasal dari keyakinan kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Bercermin pada Nabi, pendidikan anak pada masa-masa awal diarahkan untuk membangun keyakinan yang kokoh kepada Allah 'Azza wa Jalla. Ini ditempuh dengan dua hal. Pertama, memberi dasar-dasar keyakinan yang mantap. Kedua, melimpahkan kasih sayang secara tulus, bersahabat, dan hangat kepada anak. Tulusnya kasih sayang orangtua akan menjadi persemaian yang baik bagi tumbuhnya keyakinan yang kokoh. Terlebih ketika orangtua memberi pengalaman-pengalaman relijius dalam suasana yang penuh kasih sayang. Inilah yang menguatkan rasa beragama (religious feeling) seseorang.

Teringatlah saya dengan suatu peristiwa. Abu Hurairah r.a. menceritakan, "Kami tengah melaksanakan shalat Isya berjamaah bersama Rasulullah Saw. yang bertindak sebagai imam kami. Ketika beliau sedang bersujud, tiba-tiba cucunya Hasan dan Husein meloncat dan menaiki punggung Nabi. Ketika Rasulullah mengangkat kepalanya, beliau menurunkan kedua cucunya dengan penuh kasih sayang. Dan ketika Nabi Saw. sujud kembali, Hasan dan Husein kembali menaiki punggungnya. Pada saat usai shalat, beliau menjadikan kedua cucunya berada di samping kiri dan kanannya. Lalu aku mendatanginya dan berkata, "Ya Rasul Allah, apakah tidak lebih baik aku mengembalikan mereka kepada ibunya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak." Kemudian Fathimah datang mengambil kedua anaknya (Hasan dan Husein). Lalu Nabi Saw. berkata kepada Hasan dan Husein, "Nah, sekarang pergilah kalian kembali ke ibumu." Dan ketika itu aku melihat Hasan dan Husein berjalan dengan digandeng oleh Fathimah hingga sampai ke pintu rumah." (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Alangkah hangat kasih sayangnya, dan alangkah kuat bekas yang ditimbulkan pada jiwa karena pengalaman-pengalaman anak yang mengesankan saat shalat bersama Nabi. Mereka menemukan pengalaman yang indah dalam beragama. Mereka merasakan keindahan dan kesejukan. Bukan tertekan karena terus dicecar pertanyaan saat tidak tidur siang, "Katanya mau jadi anak yang shalih, kok nggak mau tidur siang?"

Dari Rasulullah Saw. kita juga belajar tentang bagaimana dasar-dasar keyakinan kepada Allah ditumbuhkan sejak belia. Rasulullah Saw. pernah berpesan kepada Ibnu Abbas r.a. yang ketika itu masih kecil, saat pengertiannya baru mulai tumbuh. Rasulullah Saw. berkata:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikitpun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering." (HR. at-Tirmidzi).    

Masih banyak hal yang bisa kita tulis tentang pesan-pesan Nabi dalam mendidik anak. Tetapi ada yang perlu kita jawab terlebih dahulu, telah siapkah kita melahirkan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat la ilaha illallah?

Ada sejarah yang bisa kita runut, dan ada pertanyaan yang rasanya amat sulit kita jawab. Di balik orang-orang besar, selalu ada ibu yang besar. Tetapi di balik sejarah orang besar yang melahirkan orang-orang yang juga memiliki kebesaran, selalu mencatat tentang seorang ayah yang besar. Di sanalah kita menemukan nama Luqman al-Hakiem, Nabi Ibrahim a.s., Nabi Zakaria a.s., Ali bin Abi Thalib, maupun Rasulullah Saw. sendiri serta sederet nama yang lain.

Mereka telah tercatat namanya dengan penuh kemuliaan di sisi Allah. Semoga kita juga termasuk para bapak yang mendapat kehormatan dari Allah untuk disebut nama kita di sisi-Nya dengan penuh kemuliaan. Sebutan yang sangat khusus.

Allahumma aamiin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar